Cerita ini berawal dari
pertemuanku dengan Ibu Siti Halimah, S.S pada mata Pelajaran Bahasa Indonesia
pada hari Selasa tanggal 15 November 2011, saat itu beliau menyuruh kami untuk
membuat sebuah karangan bebas dalam waktu 2 jam pelajaran, bagiku itu sangat
sulit, karena untukku inspirasi itu layaknya jelangkung, datang tak di jemput, pulang pun tak di antar.
Seandainya bisa menjemput ‘Inspirasi’ pasti segera aku jemput, tapi sayangnya
saat itu masih jam pelajaran sekolah, jadi aku tidak bisa izin keluar untuk
menjemput inspirasi, apalagi Pak Satpam sekolah juga cukup galak. Jadi ku
urungkanlah niatku untuk menjemput Inspirasi.
Nah sekarang saatnya bercerita mengenai keadaan TKP pada
saat kejadian berlangsung. Saat itu aku duduk dengan Nurlela, anak perempuan
dengan jiwa macho-nya, namanya jadul banget kan? Katanya sih dulu dia diberi
nama Agustinus, tapi karena dia tidak menyahut saat di panggil, maka dirubahlah
namanya menjadi Nurlela. Nama Nurlela itu sendiri diambil dari sebuah judul
lagu yang sedang booming pada saat
itu, tapi sebenarnya aku curiga, dia tidak menyahut saat di panggil bukan
karena faktor nama, mungkin saja karena faktor budeg tahunan dan faktor-faktor penghambat komunikasi lainnya.
Tik-tok-tik-tok...
Sudah setangah jam berlalu, aku baru berencana untuk
menulis.
Setengah jam kemudian aku baru menggoreskan tinta-tinta
sejarahku ke hamparan kertas putih yang sedari tadi kosong, akhirnya beberapa
baris kata-kata sudah ku torehkan. Ku peras otakku untuk mengeluarkan sisa-sisa
inspirasi yang tersisa, akhirnya sisa-sisa inspirasiku itu hanya mentok di tiga
paragaf pendek dengan judul SURAT UNTUK SAUDARA MUSLIMKU. Saat iniliah peran
Nurlela menjadi penting, ia tampil sebagai editor dengan gaya detektif
karbitan. Ya benar, ia terobsesi untuk menjadi seorang detektif, mungkin dia
terinspirasi dari tokoh kartun Anime Jepang, yaitu Doraemon.
Dia cermati tiap baris kata-kata racikanku dengan sangat
serius, dengan gaya tengilnya yang sok pintar. Bak seorang detektif yang sedang
mangamati barang bukti kasus kejahatan dia berpikir keras untuk mencari titik kelalaian
tersangka dari barang bukti yang ditinggalkannya. Beberapa saat kemudian dia
berkata kepadaku dengan gaya stay cool-nya
“L..i...k...e” seraya melempar senyuman jahat kepadaku. Aku takut sampai wajahku
tiba-tiba berubah jadi jelek.
Beralih ke kejadian
selanjutnya, yaitu tragedi bangku belakang. Bu Halimah sangat terkejut saat
mendapati sikat WC tergeletak di bangku belakang, dari raut wajah beliau
mengisyaratkan shock yang begitu dalam. Mungkin beliau berfikir bahwa di kelas
XII.AP.A ada anak pengedar sikat WC, tapi sebenanrnya beliau salah, tidak ada
pengedar apalagi pengkonsumsi sikat WC di kelas kami. Sikat WC yang tadi beliau
lihat ternyata adalah rambut kepunyaan Misbahudin yang sedang mencari inspirasi
di bangku belakang dengan jongkok di bawah meja. Akhirnya Bu Halimah memutuskan
untuk menunda shock beliau besok hari.
Lima menit lagi bel pulang akan berbunyi, tapi aku belum
selesai membuat karangan absurd-ku. Aku
sangat khawatir, tapi bukan karena aku belum menyelesaikan karanganku,
melainkan karena kakiku terinjak bangku yang di duduki oleh Nurlela. Dan pada
saat itulah aku sadar bahwa yang sedari tadi ku pikir kakiku kesemutan ternyata
terinjak bangku Nurlela. Tapi sebelum bel pulang ada kejadian yang menarik,
yaitu Terry Desta Al-Hakman menceritakan hasil karangannya. Dia bercerita
dengan sangat lugas dan berapi-api, sehingga saat itu suasana kelas menjadi
tegang, mencekam, dan penuh dengan ketakutan. Aku suka karyanya yang berjudul
BERANAK DALAM BOTOL itu, sangat mengispirasi bagi siapa pun yang ingin menjadi
seorang sastrawan besar. Aku anjurkan kepada pembaca untuk mencaci karangannya.
Tettt... Tetttt... Tetttt....
Bel pulang sekolah pun berbunyi, Ibu Halimah mulai
meninggalkan kelas, sedangkan tugas karangan harus di kumpulkan pada pertemuan
berikutnya, yaitu hari kamis. Sejak saat itulah aku selalu berfikir menganai
kerangka karanganku. Akan menjadi seperti apakah karanganku? Otakku terus ku
genjot untuk mendapatkan ide dan inspirasi, saat makan aku memikirkannya, saat
tidur aku memikirkannya, bahkan saat anda membaca karangan ini, aku juga masih
memikirkan apa yang akan aku tulis untuk tugas karanganku itu. Begitu besar
pengorbananku demi sebuah tugas Bahasa Indonesia, tatkala aku makan aku tak
bisa tidur, begitupun sebaliknya, badanku jadi kurus, berat badanku sampai
turun 10 kilogram, terakhir belakangan aku baru tahu bahwa timbangan yang ku
pakai sedang rusak.
Hari Rabu tepat pukul 19.00 aku mulai berkutat dengan
komputer, mengembangkan imajinasi dan daya khayalku, tapi semua nihil. Aku
tidak mendapatkan apa-apa, aku mencoba mencari inspirasi di dunia maya, tapi
yang muncul malah wajah seseorang. Baiklah kali ini saya akan menyamarkan nama
orang tersebut untuk mentaati ketentuan privasi, sebut saja namanya Roy Darma
Wijaya. Dan aku baru sadar ternyata aku sedang membuka akun Facebook ku. Tapi
setelah melihat wajah Roy Darma Wijaya aku menjadi terinspirasi untuk membuat
sebuah karangan yang mempunyai mutu
berstandar Internasional yang berdasarkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Ting! Aku merasa lampu inspirasiku mulai menyala, aku
putuskan untuk mengambil sepiring nasi dan segelas air putih. Ya benar,
ternyata perutku menjadi lapar setelah melihat wajah Roy Darma Wijaya. Dengan
lahapnya ku habiskan makananku, tak lupa makanan pencuci mulutnya seporsi nasi
goreng.
Aku menjadi semakin bingung, aku stres dengan tekanan
publik yang tidak sabar menunggu karangan ku di publikasikan, tapi aku sadar,
sebagai penulis ternama aku harus profesional. Maka dari itu aku putuskan untuk
mengambil buku resep makanan. Ku buka lembar demi lembar, setelah sampai lembar
ketiga aku baru sadar dan merasa seperti seorang siswa yang kehilangan jati
diri. Sebenarnya aku adalah seorang penulis atau seorang chief? Aku semakin tertekan dengan kegagalan ini. Tapi aku mencoba
untuk bangkit. Ku buka laptop-ku dan
mencoba menulis bait demi bait. Ku racik kata-kata yang berhamburan menjadi
paragraf-paragraf kecil. Dan ternyata aku benar-benar tidak mendapatkan inspirasi
sedikitpun. Semua nihil, hanya kekosongan dan kepedihan yang mesingisi jiwaku.
Sebelum terlanjur stres maka aku putuskan untuk tidak mengerjakan tugas
mengarang Bahasa Indonesia-ku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar