Selasa, 14 Februari 2012

Untitled


Cerita ini berawal dari pertemuanku dengan Ibu Siti Halimah, S.S pada mata Pelajaran Bahasa Indonesia pada hari Selasa tanggal 15 November 2011, saat itu beliau menyuruh kami untuk membuat sebuah karangan bebas dalam waktu 2 jam pelajaran, bagiku itu sangat sulit, karena untukku inspirasi itu layaknya jelangkung, datang tak di jemput, pulang pun tak di antar. Seandainya bisa menjemput ‘Inspirasi’ pasti segera aku jemput, tapi sayangnya saat itu masih jam pelajaran sekolah, jadi aku tidak bisa izin keluar untuk menjemput inspirasi, apalagi Pak Satpam sekolah juga cukup galak. Jadi ku urungkanlah niatku untuk menjemput Inspirasi.
          Nah sekarang saatnya bercerita mengenai keadaan TKP pada saat kejadian berlangsung. Saat itu aku duduk dengan Nurlela, anak perempuan dengan jiwa macho-nya, namanya jadul banget kan? Katanya sih dulu dia diberi nama Agustinus, tapi karena dia tidak menyahut saat di panggil, maka dirubahlah namanya menjadi Nurlela. Nama Nurlela itu sendiri diambil dari sebuah judul lagu yang sedang booming pada saat itu, tapi sebenarnya aku curiga, dia tidak menyahut saat di panggil bukan karena faktor nama, mungkin saja karena faktor budeg tahunan dan faktor-faktor penghambat komunikasi lainnya.
          Tik-tok-tik-tok...
          Sudah setangah jam berlalu, aku baru berencana untuk menulis.
          Setengah jam kemudian aku baru menggoreskan tinta-tinta sejarahku ke hamparan kertas putih yang sedari tadi kosong, akhirnya beberapa baris kata-kata sudah ku torehkan. Ku peras otakku untuk mengeluarkan sisa-sisa inspirasi yang tersisa, akhirnya sisa-sisa inspirasiku itu hanya mentok di tiga paragaf pendek dengan judul SURAT UNTUK SAUDARA MUSLIMKU. Saat iniliah peran Nurlela menjadi penting, ia tampil sebagai editor dengan gaya detektif karbitan. Ya benar, ia terobsesi untuk menjadi seorang detektif, mungkin dia terinspirasi dari tokoh kartun Anime Jepang, yaitu Doraemon.
          Dia cermati tiap baris kata-kata racikanku dengan sangat serius, dengan gaya tengilnya yang sok pintar. Bak seorang detektif yang sedang mangamati barang bukti kasus kejahatan dia berpikir keras untuk mencari titik kelalaian tersangka dari barang bukti yang ditinggalkannya. Beberapa saat kemudian dia berkata kepadaku dengan gaya stay cool-nya “L..i...k...e” seraya melempar senyuman jahat kepadaku. Aku takut sampai wajahku tiba-tiba berubah jadi jelek.
           Beralih ke kejadian selanjutnya, yaitu tragedi bangku belakang. Bu Halimah sangat terkejut saat mendapati sikat WC tergeletak di bangku belakang, dari raut wajah beliau mengisyaratkan shock yang begitu dalam. Mungkin beliau berfikir bahwa di kelas XII.AP.A ada anak pengedar sikat WC, tapi sebenanrnya beliau salah, tidak ada pengedar apalagi pengkonsumsi sikat WC di kelas kami. Sikat WC yang tadi beliau lihat ternyata adalah rambut kepunyaan Misbahudin yang sedang mencari inspirasi di bangku belakang dengan jongkok di bawah meja. Akhirnya Bu Halimah memutuskan untuk menunda shock beliau besok hari.
          Lima menit lagi bel pulang akan berbunyi, tapi aku belum selesai membuat karangan absurd-ku. Aku sangat khawatir, tapi bukan karena aku belum menyelesaikan karanganku, melainkan karena kakiku terinjak bangku yang di duduki oleh Nurlela. Dan pada saat itulah aku sadar bahwa yang sedari tadi ku pikir kakiku kesemutan ternyata terinjak bangku Nurlela. Tapi sebelum bel pulang ada kejadian yang menarik, yaitu Terry Desta Al-Hakman menceritakan hasil karangannya. Dia bercerita dengan sangat lugas dan berapi-api, sehingga saat itu suasana kelas menjadi tegang, mencekam, dan penuh dengan ketakutan. Aku suka karyanya yang berjudul BERANAK DALAM BOTOL itu, sangat mengispirasi bagi siapa pun yang ingin menjadi seorang sastrawan besar. Aku anjurkan kepada pembaca untuk mencaci karangannya.
          Tettt... Tetttt... Tetttt....
          Bel pulang sekolah pun berbunyi, Ibu Halimah mulai meninggalkan kelas, sedangkan tugas karangan harus di kumpulkan pada pertemuan berikutnya, yaitu hari kamis. Sejak saat itulah aku selalu berfikir menganai kerangka karanganku. Akan menjadi seperti apakah karanganku? Otakku terus ku genjot untuk mendapatkan ide dan inspirasi, saat makan aku memikirkannya, saat tidur aku memikirkannya, bahkan saat anda membaca karangan ini, aku juga masih memikirkan apa yang akan aku tulis untuk tugas karanganku itu. Begitu besar pengorbananku demi sebuah tugas Bahasa Indonesia, tatkala aku makan aku tak bisa tidur, begitupun sebaliknya, badanku jadi kurus, berat badanku sampai turun 10 kilogram, terakhir belakangan aku baru tahu bahwa timbangan yang ku pakai sedang rusak.
          Hari Rabu tepat pukul 19.00 aku mulai berkutat dengan komputer, mengembangkan imajinasi dan daya khayalku, tapi semua nihil. Aku tidak mendapatkan apa-apa, aku mencoba mencari inspirasi di dunia maya, tapi yang muncul malah wajah seseorang. Baiklah kali ini saya akan menyamarkan nama orang tersebut untuk mentaati ketentuan privasi, sebut saja namanya Roy Darma Wijaya. Dan aku baru sadar ternyata aku sedang membuka akun Facebook ku. Tapi setelah melihat wajah Roy Darma Wijaya aku menjadi terinspirasi untuk membuat sebuah karangan  yang mempunyai mutu berstandar Internasional yang berdasarkan persatuan dan kesatuan bangsa.
          Ting! Aku merasa lampu inspirasiku mulai menyala, aku putuskan untuk mengambil sepiring nasi dan segelas air putih. Ya benar, ternyata perutku menjadi lapar setelah melihat wajah Roy Darma Wijaya. Dengan lahapnya ku habiskan makananku, tak lupa makanan pencuci mulutnya seporsi nasi goreng.
          Aku menjadi semakin bingung, aku stres dengan tekanan publik yang tidak sabar menunggu karangan ku di publikasikan, tapi aku sadar, sebagai penulis ternama aku harus profesional. Maka dari itu aku putuskan untuk mengambil buku resep makanan. Ku buka lembar demi lembar, setelah sampai lembar ketiga aku baru sadar dan merasa seperti seorang siswa yang kehilangan jati diri. Sebenarnya aku adalah seorang penulis atau seorang chief? Aku semakin tertekan dengan kegagalan ini. Tapi aku mencoba untuk bangkit. Ku buka laptop-ku dan mencoba menulis bait demi bait. Ku racik kata-kata yang berhamburan menjadi paragraf-paragraf kecil. Dan ternyata aku benar-benar tidak mendapatkan inspirasi sedikitpun. Semua nihil, hanya kekosongan dan kepedihan yang mesingisi jiwaku. Sebelum terlanjur stres maka aku putuskan untuk tidak mengerjakan tugas mengarang Bahasa Indonesia-ku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar